Kamis, 29 Maret 2012

EKOSISTEM WILAYAH PESISIR

Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara pengaruh daratan dan samudra. Wilayah pesisir di Indonesia tergolong cukup luas karena kita memiliki garis pantai sekitar 81.000 km. Pesisir memberikan andil yang cukup besar bagi kehidupan manusia, karena secara turun temurun telah menjadi sumber protein yang subur. Perairan pantai yang dangkal dapat menyebabkan tingginya kandungan sedimen yang dibawa oleh ombak yang dapat mengaduk dasar perairan. Yang mana sedimen yang terendapkan banyak jenisnya, dan memberikan topografi pantai yang berbeda satu dengan yang lainnya. Daratan dekat pantai memberikan pengaruh yang cukup besar, diantaranya salinitas yang lebih rendah, tingginya tingkat sedimentasi yang berakibat berkurangnya daya tembus sinar matahari, serta bertambahnya rasio antara larva planktonik dan plankton dewasa.
            Secara teoritis, wilayah pantai dapat dibagi menjadi mintakat yang selalu terendam air dan mintakat pasut, yakni mintakat yang selalu mengalami pengeringan dan perendaman akibat pasang surut air laut. Dan yang banyak diketahui sifat ekologi dan sumberdaya hayatinya merupakan mintakat pasut. Sifat-sifat mintakat pasut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya selain pasang surut air laut juga dipengaruhi oleh suhu, yang mana suhu di wilayah ini lebih besar daripada suhu di bagian laut lainnya. Faktor lain yaitu cahaya. Sama seperti suhu, cahaya di mintakat pasut lebih besar daripada dibagian laut lainnya kecuali air permukaan laut bebas, dan hal ini memiliki pengaruh langsung terhadap sebaran tumbuhan-tumbuhan laut, karena tumbuhan-tumbuhan ini memerlukan cahaya matahari untuk fotosintesis. Beberapa ekosistem yang utama dan banyak diperbincangkan dan diteliti karena peranannya sebagai penopang pembangunan kelautan, baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu terumbu karang, mangrove, dan lamun.

Gambar1. Ekosistem Pesisir

            Rantai makanan merupakan proses pemindahan energi makanan dari sumbernya melalui hubungan makan-dimakan. Sumber energi biasanya berasal dari tumbuhan yang mampu mengubah zat anorganik menjadi zat organik melalui proses fotosintesis. Hewan memakan tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh zat organik. Yang kemudian hewan ini akan dimakan oleh hewan yang lebih besar dan seterusnya. Hewan terbesar yang tidak dimakan akhirnya akan mati dan terurai oleh bakteri menjadi zat anorganik kembali untuk dimanfaatkan oleh tumbuhan dan seterusnya. Di laut seperti halnya di darat, sumber energi berasal dari tumbuhan air yang dapat berfotosintesis. Sehingga faktor utama yang mempengaruhi fotosintesis adalah keberadaan cahaya, dan hanya tumbuhan hijau yang dapat mengubah energi ini menjadi sumber energi bagi hewan air. Oleh karena itu jumlah hewan yang hidup harus lebih sedikit dibandingkan jumlah tumbuhan hijau yang hidup, sehingga hewan-hewan dapat dapat bertumpu pada kelebihan energi yang dihasilkan dan tidak kelaparan. Rantai makanan ini menggambarkan kebutuhan makhluk hidup akan makanan untuk mempertahankan hidupnya, serta untuk mendapatkan makanan tersebut mereka harus mencarinya dan siap untuk dimangsa oleh yang lain dalam satu ekosistem.
            Rantai makanan di bagi dua berdasarkan sifat sumbernya, yaitu rantai makanan merambah atau merumput (grazing food chain) dan rantai makanan detritus (detritus food chain). Hampir 90% dari produksi tanaman termasuk ke dalam rantai makanan detritus. Kumpulan detritus berasal dari biomassa tumbuh-tumbuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola rantai makanan di tiga ekosistem wilayah pantai, yakni lamun, mangrove dan terumbu karang berbeda satu dengan yang lainnya.


Gambar2. Rantai makanan detritus

Rantai makanan di daerah pantai atau pesisir yang sangat berperan adalah rantai makanan detritus, sedangkan rantai makanan merumput merupakan rantai makanan yang lebih pendek jika dibandingkan dengan rantai makanan di samudra terbuka. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai rantai makanan wilayah pantai dapat dilihat di http://elsanurman.blogspot.com.




Sumber :
Romimohtarto,  Kasijan dan. Sri Juwana. 2007. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan: Jakarta.
Nybakken, James W. 1992. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Penerbit PT. Gramedia: Jakarta.
Effendi, Ecko. 2009. Keterkaitan Ekosistem di Wilayah Pesisir. http://perikananunila.wordpress.com/2009/08/01/keterkaitan/. Diakses pada tanggal 29 Maret 2012 pukul 21.04 WIB.              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar