Selasa, 27 September 2011

Sejarah Perkembangan Deterjen

Deterjen merupakan salah satu produk pembersih yang banyak dimanfaatkan pada kegiatan pembersihan untuk laundry, alat-alat rumah tangga, transportasi, kegiatan komersial dan industri metal. Deterjen pertama kali dikembangkan oleh Jerman pada waktu Perang Dunia II dengan tujuan agar lemak dan minyak dapat digunakan dalam keperluan lainnya. Pada tahun 1916 lahir inovasi baru yang dilakukan ilmuwan Jerman, Fritz Gunther, yang menemukan surfaktan sebagai bahan tambahan pembuat sabun. Namun, baru tahun 1933 detergen untuk rumah tangga untuk pertama kalinya diluncurkan di AS. Kelebihan detergen mampu lebih efektif membersihkan kotoran meski dalam air yang mengandung mineral. Pada tahun 1950-an dibuatlah detergen dengan pemutih oksigen. Kemudian di era 1960-an, sabun pencuci bahkan sudah memiliki enzim yang memungkinkan pakaian direndamsebelum dicuci. Lalu pada era 1970-an, sabun pencuci yang dipadukan dengan bahan pelembut kain mulai dikenal luas. Inovasi sabun pencuci terus berkembang di era 1980-an seiring perkembangan mesin pencuci. Berdasarkan kebutuhan mesin pencuci, industri berhasil menciptakan konsentrat bubuk untuk mencuci pakaian. Sedang di era 1990-an, industri juga kembali menghadirkan sabun pencuci baru berupa cairan yang mampu bekerja dua kali lipat lebih efektif saat mencuci pakaian.
Sebelum tahun 1965, detergen generasi awal muncul menggunakan bahan kimia pengaktif permukaan (surfaktan) Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) ysng mampu menghasilkan busa. Dikarenakan sifat ABS yang sulit diurai oleh mikroorganisme dipermukaan tanah, menghasilkan limbah busa di sungai dan danau. Setelah 10 tahun dilakukan penelitian (1965), ditemukan Linear Alkalybenzene Sulphonate (LAS) yang lebih ramah lingkungan. Bakteri dapat lebih cepat menguraikan molekul LAS, sehingga tidak menghasilkan limbah busa. LAS saat ini banyak digunakan sebagai surfaktan anionik yang sangat komersial. Akan tetapi, walaupun surfaktan LAS dapat dibiodegradasi oleh lingkungan, sifat bidegradablenya membutuhkan waktu yang lama untuk menguraikan. Oleh karena itu, pada saat ini telah mulai diperkenalkan Metil Ester Sulfonat (MES). Dimana MES lebih mudah terdegradasi dibandingkan LAS. Menurut Matheson (1996), MES menunjukkan karakteristik yang baik, diantaranya mudah terdegradasi dan memiliki sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi.
Pada umumnya kotoran nyang dapat dihilangkan surfaktan adalah yang berasal dari debu atau tanah. Bila kotoran lebih berat seperti noda makanan dan noda perlu ditambahkan enzim protease. Pemakaian enzim merupakan revolusi terbesar dalam perkembangan deterjen. Enzim proteolitik telah dicoba sebagai zat aditif untuk mencuci di Jerman pada tahun 1920-an dan juga di Switzerland pada tahun 1930-an. Enzim yang disebut juga dengan katalis organik, cenderung untuk mempercepat reaksi dan enzim proteolitik dapat mengubah ataupun menghancurkan protein menjadi asam amino, baik sebagian maupun keseluruhan. Cara kerja enzim relatif lambat dan harga produksinya tinggi, tetapi dengan metode yang telah disempurnakan untuk produksi lain dan pemurnian, rantai enzim, dikembangkan untuk bereaksi dengan cepat. Pemanfaatan enzim ini mulai diproduksi dalam skala industri pada tahun 1960-an (Winarno, 1986). Menurut Ward (1983) dalam industri protease digunakan untuk membersihkan kotoran yang berasal dari protein. Penggunaan protease dapat mengurangi konsentrasi fosfat dalam deterjen dan menurunkan suhu air untuk mencuci pakaian, sehingga dapat menghemat energi dan mengurangi pencemaran lingkungan.  Dalam perkembangannya, deterjen pun makin canggih. Deterjen masa kini biasanya mengandung pemutih, pencerah warna, bahkan antiredeposisi (NaCMC atau sodium carboxymethylcellulose).

Sumber:
http://majarimagazine.com

2 komentar: